Tidak Sepantasnya Menghargai Guru dengan “Menjengkal” Tingkat Kompetensinya

Tidak Sepantasnya Menghargai Guru dengan “Menjengkal” Tingkat Kompetensinya
Oleh : Rizal Fuadi
(Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SMAN 1 Bireuen)
Guru adalah sosok sentral dalam proses pendidikan. Mereka tidak hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga mendidik karakter, menanamkan nilai, dan menjadi teladan bagi para siswa. Namun, dalam dunia yang semakin mengedepankan hasil dan angka, penghargaan terhadap guru sering kali disempitkan hanya pada ukuran kompetensi: seberapa tinggi sertifikasi yang dimiliki, seberapa besar nilai uji kompetensinya, atau seberapa banyak muridnya yang berhasil masuk perguruan tinggi ternama. Padahal, tidak sepantasnya kita menghargai guru hanya dengan mengukur tingkat kompetensinya.
Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan bukan hanya soal ilmu pengetahuan, tetapi juga soal budi pekerti dan keteladanan. Dalam falsafahnya yang terkenal: "Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani", artinya guru harus menjadi teladan, memberi semangat, dan mendukung murid dari belakang. Hal ini menegaskan peran guru jauh melampaui sekadar kompetensi akademik.
Pernyataan Ki Hajar Dewantara tersebut dirangkum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, berbunyi: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Ayat ini menjelaskan bahwa profesi guru mencakup dimensi personal dan sosial, bukan hanya akademik.
Oleh sebab itu, peran guru jauh melampaui sekadar penyampaian materi pelajaran. Guru adalah pembentuk karakter yang menanamkan nilai moral dan etika, tercermin dalam perilaku siswa. Mereka juga merupakan inspirator dan motivator yang menciptakan lingkungan belajar positif, mendorong siswa untuk mengembangkan potensi. Sebagai teladan dalam integritas dan dedikasi. Lebih dari itu, guru adalah fasilitator pembelajaran yang membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kolaborasi, serta pembentuk generasi masa.
Kompetensi memang penting. Guru yang kompeten tentu memiliki penguasaan materi, metode mengajar yang baik, dan keterampilan dalam mengelola kelas. Namun, ada dimensi lain yang tak kalah penting: ketulusan, dedikasi, dan keikhlasan. Banyak guru yang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan dana pribadi demi kemajuan anak didiknya. Mereka hadir bukan sekadar sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing, pendengar, bahkan sosok pengganti orang tua bagi siswa-siswanya.
Menghargai guru seharusnya mencakup keseluruhan peran yang mereka jalankan. Bukan hanya karena kemampuan teknis atau akademis, tetapi juga karena komitmen moral dan sosial yang mereka emban. Penghargaan sejati kepada guru semestinya diwujudkan dalam bentuk kepercayaan, perlakuan yang hormat, serta dukungan yang nyata terutama dalam upaya penyejahteraannya.
Jika kita terus mengukur guru semata dari kompetensinya, kita bisa saja melewatkan esensi dari pendidikan itu sendiri: membentuk manusia yang utuh. Oleh karena itu, mari kita belajar menghargai guru sebagai sosok manusiawi yang berjuang sepenuh hati demi mencerdaskan generasi bangsa. Sebuah pesan penting dari Ibnu Jama’ah dalam kitabnya, Tadhkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim, bisa menjadi pengingat bagi kita, “Siapa yang tidak memuliakan gurunya, maka ia tidak akan berhasil mendapatkan manfaat dari ilmunya.”
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
- Penertiban Arus Lalu Lintas
- Tripandawa Pramuka SMA Negeri 1 Bireuen Berbagi Takjil di Tugu Kota Juang Bireuen
- Selamat kepada Siswa-Siswi SMA Negeri 1 Bireuen atas Kelulusan SNBP ke PTN Tahun 2025
- KEGIATAN DONOR DARAH
- SMA Negeri 1 Bireuen Gelar Upacara Bendera dengan Khidmat
Kembali ke Atas